Isu tambang di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi sorotan setelah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia hanya melakukan kunjungan ke salah satu perusahaan, yakni PT Gag Nikel. Keputusan ini memunculkan pertanyaan di kalangan publik dan aktivis lingkungan: mengapa hanya PT Gag yang dikunjungi, sementara ada empat tambang lainnya yang juga beroperasi atau memiliki izin di kawasan yang terkenal akan keindahan alam dan keanekaragaman hayatinya itu?
Artikel ini akan mengupas secara mendalam situasi tambang di Raja Ampat, profil PT Gag dan tambang lainnya, serta alasan-alasan potensial di balik kunjungan terbatas Bahlil. Juga akan dibahas dampak lingkungan, sosial, dan politik dari aktivitas pertambangan di kawasan konservasi yang seharusnya menjadi warisan dunia ini.

Potret Pertambangan di Raja Ampat
Raja Ampat: Surga Bawah Laut yang Terancam
Tambang di Raja Ampat – Raja Ampat merupakan salah satu destinasi wisata alam terbaik di dunia, terkenal dengan keanekaragaman hayati lautnya yang luar biasa. Wilayah ini memiliki lebih dari 1.500 pulau kecil dan menjadi habitat bagi lebih dari 1.300 spesies ikan, 600 jenis karang, dan berbagai satwa endemik. Namun, di balik keelokan panorama bawah lautnya, wilayah ini juga menyimpan kekayaan tambang yang menggiurkan.
Sejak bertahun-tahun lalu, beberapa perusahaan telah memperoleh izin eksplorasi dan eksploitasi tambang, khususnya nikel dan bauksit. Meskipun demikian, banyak pihak menentang eksploitasi tambang di kawasan ini karena ancaman besar terhadap ekosistem laut dan darat yang rapuh.
Lima Perusahaan Tambang di Raja Ampat
Hingga saat ini, setidaknya terdapat lima perusahaan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat, antara lain:
- PT Gag Nikel – Anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), fokus pada tambang nikel di Pulau Gag.
- PT Anugerah Surya Pacific Resources (ASPR) – Memiliki IUP nikel di wilayah Waigeo Barat.
- PT Tita Jaya Bumi Papua – Izin tambang nikel yang tumpang tindih dengan wilayah adat.
- PT Cendrawasih Jaya Mandiri – Perusahaan dengan izin di wilayah Salawati.
- PT Putra Papua Sinar Abadi – Perusahaan pemegang IUP bauksit yang masih dalam tahap eksplorasi.
Meskipun tidak semua perusahaan ini berstatus aktif, keberadaan IUP mereka tetap menjadi ancaman terhadap keutuhan ekosistem dan sosial-budaya masyarakat adat Raja Ampat.

Profil dan Peran PT Gag Nikel
Sejarah dan Operasi PT Gag Nikel
Tambang di Raja Ampat – PT Gag Nikel adalah perusahaan patungan antara PT Antam (90%) dan PT Gag Mineral (10%), yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat. Pulau ini dahulu merupakan kawasan konservasi dan pernah ditolak untuk kegiatan tambang pada awal tahun 2000-an. Namun, setelah revisi regulasi dan lobi panjang, perusahaan ini kembali memperoleh izin produksi pada 2013.
Sejak saat itu, PT Gag Nikel telah membangun infrastruktur penambangan dan mengekspor hasil tambangnya ke luar negeri. Meskipun perusahaan mengklaim telah menerapkan standar lingkungan dan CSR (Corporate Social Responsibility), kritik terus berdatangan dari aktivis lingkungan dan masyarakat adat.
Klaim Konservasi vs Kritik Publik
Tambang di Raja Ampat – Dalam berbagai kesempatan, PT Gag Nikel menyatakan bahwa operasi mereka mengacu pada prinsip “green mining” dan bertanggung jawab secara sosial serta lingkungan. Mereka mengklaim telah membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja bagi masyarakat sekitar.
Namun, lembaga-lembaga lingkungan menyatakan bahwa kerusakan ekologis tetap terjadi, mulai dari sedimentasi laut, gangguan terhadap satwa liar, hingga konflik lahan dengan masyarakat adat. Ditambah lagi, pengawasan dari pemerintah dinilai minim dan seringkali tidak transparan.
Kunjungan Bahlil: Tujuan dan Kontroversi
Kunjungan Tunggal ke PT Gag Nikel
Tambang di Raja Ampat – Pada Mei 2025, Menteri Bahlil melakukan kunjungan kerja ke Pulau Gag dan meninjau langsung operasional tambang PT Gag Nikel. Dalam kunjungannya, Bahlil memuji manajemen tambang PT Gag dan menyebutnya sebagai contoh investasi bertanggung jawab di Papua.
Namun, yang menarik perhatian publik adalah keputusan Bahlil yang tidak mengunjungi empat perusahaan lainnya, meskipun beberapa di antaranya memiliki persoalan lebih kompleks, seperti konflik agraria, dugaan pelanggaran lingkungan, atau belum adanya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang jelas.
Alasan Resmi dan Spekulasi
Dalam pernyataan resminya, Bahlil mengatakan bahwa kunjungan tersebut difokuskan untuk mengevaluasi progres investasi yang telah berjalan dan memastikan bahwa perusahaan tambang di Papua menjalankan praktik yang sesuai aturan.
Namun, muncul sejumlah spekulasi mengenai motif sebenarnya di balik keputusan tersebut, seperti:
- Kedekatan politik dan bisnis antara pemerintah pusat dan PT Antam selaku BUMN.
- Minimnya kesiapan logistik dan aksesibilitas ke lokasi tambang lain yang lebih terpencil.
- Keinginan menjaga citra kunjungan, dengan hanya menyoroti perusahaan yang dianggap “sukses” dalam manajemen lingkungan dan sosial.
- Tekanan dari kelompok investor atau elite lokal yang berkepentingan pada PT Gag Nikel.
Spekulasi ini memunculkan kritik tajam dari kalangan LSM dan masyarakat sipil yang menginginkan transparansi dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dampak Sosial dan Lingkungan dari Tambang
Kerusakan Ekologis yang Terjadi
Aktivitas pertambangan di Raja Ampat berdampak signifikan terhadap ekosistem lokal. Di beberapa lokasi, terjadi:
- Peningkatan sedimentasi sungai dan laut, yang mematikan terumbu karang.
- Gangguan terhadap satwa liar, terutama burung cenderawasih yang endemik.
- Penggundulan hutan hujan tropis, yang mempercepat pemanasan lokal dan mengganggu siklus air.
Laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace menyebutkan bahwa keberadaan tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag adalah bentuk pelanggaran prinsip ekologi karena daya dukung pulau-pulau tersebut sangat terbatas.
Konflik dengan Masyarakat Adat
Tidak semua masyarakat adat menerima kehadiran tambang di wilayah mereka. Di Pulau Gag, sebagian masyarakat menyatakan mendukung karena adanya akses ke pekerjaan dan layanan dasar. Namun di wilayah lain seperti Waigeo dan Salawati, terjadi penolakan keras karena tambang dianggap merampas hak ulayat dan mengganggu kearifan lokal.
Konflik agraria, intimidasi terhadap aktivis lokal, dan ketimpangan informasi menjadi tantangan besar yang belum diselesaikan oleh negara maupun perusahaan.
Tuntutan dan Harapan ke Depan
Mendorong Audit Total Tambang di Raja Ampat
Aktivis dan pengamat lingkungan menuntut agar pemerintah pusat maupun daerah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh IUP di Raja Ampat. Audit ini harus mencakup aspek legalitas izin, AMDAL, tata kelola, serta komitmen sosial dan lingkungan dari masing-masing perusahaan.
Audit yang transparan dan partisipatif dianggap sebagai langkah awal menuju keadilan ekologis dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat.
Regulasi Khusus untuk Pulau-Pulau Kecil
Pasca kontroversi tambang di Pulau Wawonii dan Pulau Gag, desakan untuk memperkuat regulasi tambang di pulau-pulau kecil semakin besar. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sejatinya melarang aktivitas tambang di wilayah tersebut, namun pelaksanaannya sering dilanggar.
Pemerintah diharapkan tegas dalam menerapkan larangan ini dan mengedepankan pariwisata berkelanjutan sebagai alternatif pembangunan ekonomi.
Partisipasi Masyarakat Adat dan Sipil
Proses pengambilan keputusan terkait tambang harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah dan pewaris kearifan lokal. Mekanisme Free, Prior and Informed Consent (FPIC) harus dijalankan secara konsisten untuk mencegah konflik.
Selain itu, LSM dan media juga berperan penting dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas program tambang yang berpotensi merusak lingkungan dan nilai sosial masyarakat.
Kesimpulan
Kunjungan Menteri Bahlil ke hanya satu dari lima tambang di Raja Ampat mengundang tanda tanya besar dan membuka diskusi lebih luas mengenai arah pembangunan di kawasan konservasi tersebut. PT Gag Nikel mungkin dianggap sebagai contoh positif, tetapi mengabaikan realitas tambang lain yang bermasalah justru mereduksi upaya reformasi tata kelola sumber daya alam.
Raja Ampat bukan hanya surga wisata, tapi juga rumah bagi ribuan masyarakat adat dan makhluk hidup yang bergantung pada kelestarian alam. Karena itu, pembangunan harus dilakukan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Transparansi, partisipasi, dan keadilan harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan, termasuk dalam hal tambang. Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah kerusakan dan penyesalan di salah satu wilayah paling menakjubkan di muka bumi ini.